
Oleh : Yohanes Wandikbo )*
Kerusuhan yang sempat terjadi di Kabupaten Yalimo menjadi pengingat penting bahwa perdamaian hanya bisa terjaga bila masyarakat tidak terprovokasi hoaks. Peristiwa yang bermula dari perselisihan kecil antarsiswa berubah menjadi keributan besar, merusak fasilitas, dan mengganggu ketenangan warga. Namun, langkah cepat aparat keamanan dan pemerintah daerah berhasil meredam situasi sehingga kondisi kini kembali berangsur kondusif. Momentum ini harus dijaga dengan menolak kabar bohong dan isu provokatif yang sengaja disebarkan untuk memecah belah.
Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Cahyo Sukarnito, menegaskan aparat telah menurunkan dua pleton Brimob ke Yalimo untuk memperkuat pengamanan. Ia menekankan penegakan hukum akan dilakukan secara tegas demi memberikan rasa aman kepada masyarakat. Dalam pernyataannya, Cahyo mengingatkan warga agar menahan diri, tidak main hakim sendiri, serta tidak mudah percaya pada isu yang tidak jelas sumbernya. Pesan ini sangat relevan karena hoaks yang beredar di media sosial terbukti memicu keresahan publik.
Salah satu kabar bohong yang beredar adalah isu rasis yang dituding menjadi pemicu keributan. Polisi menegaskan kabar tersebut masih dalam penyelidikan dan belum terbukti kebenarannya. Situasi seperti ini harus disikapi dengan bijak agar tidak memperkeruh keadaan. Masyarakat diimbau menunggu informasi resmi dari pihak berwenang, bukan justru menyebarkan isu yang belum terverifikasi. Jika masyarakat lengah, provokasi melalui hoaks dapat membesar menjadi konflik horizontal yang merugikan semua pihak.
Dalam konteks sosial budaya Papua, tokoh adat memiliki peran besar dalam meredakan situasi. Tokoh adat Elelim, Musa Yare, menyerukan agar masyarakat menahan diri dan tidak mudah terhasut. Ia menekankan bahwa persatuan dan kedamaian adalah fondasi membangun Papua yang lebih baik. Menurutnya, masyarakat perlu mengambil hikmah dari peristiwa ini sebagai pelajaran untuk lebih bijak dalam menghadapi persoalan. Suara tokoh adat memiliki bobot moral tinggi dan dihormati oleh komunitas lokal, sehingga imbauan ini diyakini dapat menenangkan masyarakat.
Isu lain yang beredar di Yalimo adalah tudingan aparat TNI melakukan penembakan. Kapendam XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Candra Kurniawan, membantah keras kabar tersebut. Ia menegaskan bahwa informasi itu adalah hoaks yang sengaja disebarkan kelompok separatis OPM untuk mengadu domba masyarakat dengan aparat keamanan. Candra menekankan bahwa TNI selalu mengedepankan komunikasi dan pendekatan damai dalam menjalankan tugas menjaga keamanan di Papua. Pernyataan ini membuktikan bahwa narasi bohong digunakan sebagai alat propaganda untuk menimbulkan ketidakpercayaan terhadap aparat negara.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Jayawijaya, Herman Doga, juga menyuarakan pesan serupa. Ia menegaskan Papua sejak dulu adalah daerah yang damai dan harus tetap dijaga dari pengaruh luar yang ingin membawa konflik. Menurutnya, masyarakat tidak boleh memberi ruang bagi pihak-pihak yang ingin mengganggu pembangunan. Herman menekankan pentingnya menjaga keamanan di lingkungan rumah, gereja, maupun honai, karena kedamaian adalah fondasi bagi kemajuan.
Konsistensi pesan dari aparat keamanan dan tokoh adat memperlihatkan kesatuan sikap bahwa hoaks dan provokasi tidak boleh diberi tempat. Masyarakat Papua memiliki modal sosial yang kuat berupa solidaritas, sehingga sangat penting untuk terus menggunakannya sebagai benteng menghadapi provokasi. Yalimo bisa menjadi contoh bahwa konflik bisa dipicu hal kecil bila emosi menguasai, tetapi juga bisa cepat reda bila semua pihak kompak menjaga persatuan.
Tantangan terbesar saat ini adalah derasnya arus informasi di era digital. Media sosial sering dijadikan saluran oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan kabar bohong. Jika tidak ada filter dari masyarakat, hoaks dapat menyebar dalam hitungan menit dan memicu keresahan luas. Karena itu, literasi digital menjadi kebutuhan mendesak. Generasi muda Papua harus dibekali kemampuan memilah informasi, agar tidak mudah terprovokasi oleh kabar yang sengaja dipelintir.
Pemerintah pusat terus menunjukkan komitmen besar terhadap pembangunan di Papua, baik melalui peningkatan infrastruktur, pendidikan, maupun layanan kesehatan. Semua program tersebut membutuhkan kondisi keamanan yang stabil agar berjalan maksimal. Konflik sosial hanya akan menghambat proses pembangunan dan merugikan masyarakat sendiri. Oleh sebab itu, menjaga perdamaian bukan hanya tugas aparat, melainkan juga tanggung jawab moral seluruh elemen masyarakat.
Gereja, sekolah, dan komunitas adat dapat menjadi pilar penting dalam mengedukasi masyarakat untuk menolak provokasi. Gereja bisa menjadi tempat menenangkan hati dan membangun kesadaran damai, sementara sekolah menanamkan nilai toleransi sejak dini. Dengan sinergi seluruh elemen, Papua dapat tetap menjadi tanah damai yang penuh harapan.
Peristiwa Yalimo adalah pelajaran berharga tentang betapa rentannya situasi sosial bila dipengaruhi hoaks. Namun, Yalimo juga menunjukkan bahwa dengan kerja sama aparat, pemerintah, dan tokoh adat, perdamaian bisa dipulihkan. Pesan utama yang harus terus digaungkan adalah menolak hoaks berarti menjaga kedamaian, dan menjaga kedamaian berarti membuka jalan bagi pembangunan Papua yang lebih maju dan sejahtera.
)* Penulis merupakan Pengamat Pembangunan Papua