
Oleh: Dhita Karuniawati )*
Menjelang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, arah kebijakan fiskal dan pengelolaan anggaran negara menunjukkan pergeseran paradigma yang signifikan. Pemerintah kini menegaskan komitmennya untuk menggunakan paradigma baru dalam efisiensi anggaran, bukan semata-mata memangkas belanja, melainkan mengoptimalkan setiap rupiah agar menghasilkan dampak maksimal bagi kesejahteraan rakyat dan percepatan pembangunan nasional.
Paradigma baru ini lahir dari evaluasi atas tantangan fiskal global dan kebutuhan untuk menjaga keberlanjutan ekonomi nasional. Dengan meningkatnya ketidakpastian ekonomi dunia, fluktuasi harga komoditas, serta tekanan geopolitik internasional, efisiensi menjadi kata kunci agar APBN tetap tangguh dan produktif. Pemerintah menegaskan bahwa efisiensi bukan berarti penghematan yang mengorbankan pelayanan publik, melainkan perbaikan tata kelola dan prioritas penggunaan anggaran agar setiap program benar-benar berdampak pada masyarakat.
Efisiensi anggaran resmi mulai dilaksanakan saat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 dikeluarkan pada 22 Januari 2025. Kemudian tata cara pelaksanaan efisiensi anggaran dirincikan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 yang diundnagkan pada 5 Agustus 2025. Pemerintah menargetkan efisiensi anggaran dapat menghemat anggaran negara sebesar Rp 306,69 triliun yang terdiri dari Rp 256,10 triliun anggaran belanja kementerian dan lembaga serta Rp 50,59 triliun transfer ke daerah (TKD). Dalam PMK 56 Tahun 2025 itu disebutkan terdapat 15 pos belanja yang menjadi sasaran efisiensi anggaran. Mulai dari belanja alat tulis kantor, perjalanan dinas, infrastruktur, hingga kegiatan seremonial dan rapat menjadi sasaran efisiensi.
Jumlah pos belanja yang dipangkas tersebut berkurang satu pos dibanding aturan sebelumnya, Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025, yang memuat 16 pos. Pos belanja lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan prioritas pembangunan tidak masuk dalam daftar efisiensi. Namun seiring dengan bergantinya posisi Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati menjadi Purbaya Yudhi Sadewa pada 8 September 2025, terjadi perbubahan makna efisiensi anggaran.
Di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, istilah efisiensi anggaran tidak lagi diartikan sekadar pemangkasan atau penghematan. Purbaya mengartikan efisiensi anggaran sebagai upaya memastikan uang negara benar-benar bekerja tepat waktu, tepat sasaran, dan tidak mengendap di kas tanpa manfaat ekonomi. Menurutnya, penghematan atau pemotongan anggaran bukanlah bentuk efisiensi yang sebenarnya.
Meski efisiensi anggaran versi Purbaya bukan berupa pengurangan belanja seperti yang dilakukan Menteri Keuangan sebelumnya, namun bukan berarti dirinya mendorong belanja tanpa batas (spending free).
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan bahwa struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negata (APBN) tidak diubah, tapi pengelolaannya dibuat lebih efisien. Dia pun mencontohkan kebijakan pemindahan dana saldo anggaran lebih (SAL) dari Bank Indonesia (BI) ke perbankan sebesar Rp 200 triliun.
Menurut Purbaya dengan kebijakan ini, uang yang dimiliki pemerintah dapat digunakan lebih efisien karena tidak dibiarkan mengganggur melainkan dimanfaatkan untuk menggerakan perekonomian. Dalam pandangannya, efisiensi berarti memastikan setiap rupiah uang negara benar-benar bekerja untuk rakyat. Bila ada program yang tidak berjalan, dananya harus segera dialihkan ke sektor lain yang lebih siap mengeksekusi. Purbaya juga menegaskan tidak akan memblokir anggaran K/L maupun pemda dalam melaksanakan efisiensi anggaran.
Pandangan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait efisien anggaran tersebut mendapat dukungan dari Direktur Kebijakan dan Program Prasasti Center for Policy Studies, Piter Abdullah.
Piter mengatakan bahwa langkah-langkah yang diambil Purbaya merupakan bentuk redefinisi dari konsep efisiensi anggaran. APBN seharusnya tidak dilihat sebagai instrumen untuk dihemat, tetapi sebagai alat untuk menggerakkan ekonomi.
Piter menyoroti bahwa selama ini persoalan utama dalam APBN Indonesia bukan pada penerimaan, melainkan di sisi belanja. Penerimaan memang masih terbatas, tapi tantangan utamanya adalah bagaimana membenahi belanja agar lebih efisien dan efektif. Itu yang sedang disuarakan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Dengan pergeseran definisi ini, efisiensi anggaran di era Prabowo-Gibran bukan lagi tentang penghematan nominal, tetapi optimalisasi dampak ekonomi. Belanja pemerintah diarahkan agar memberikan nilai tambah, bukan sekadar memenuhi target penyerapan.
Menjelang satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, penerapan paradigma baru efisiensi anggaran menjadi refleksi atas semangat reformasi birokrasi yang lebih substansial. Pemerintah tidak lagi berorientasi pada output administratif, tetapi pada hasil nyata bagi masyarakat.
Paradigma ini juga mencerminkan kesadaran bahwa tantangan pembangunan ke depan menuntut tata kelola fiskal yang adaptif, mampu merespons perubahan cepat, seperti krisis ekonomi global, perubahan iklim, dan transformasi teknologi. Dengan efisiensi sebagai landasan, pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara keberlanjutan fiskal dan kebutuhan pembangunan nasional.
Paradigma baru efisiensi anggaran jelang satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran merupakan langkah strategis untuk memastikan APBN menjadi instrumen pembangunan yang lebih efektif dan berkeadilan. Fokus pemerintah bukan sekadar menekan pengeluaran, melainkan memperbaiki tata kelola agar setiap rupiah anggaran membawa manfaat nyata bagi rakyat.
Dengan memperkuat paradigma baru efisiensi anggaran, pemerintah menegaskan komitmennya untuk membangun Indonesia yang mandiri, transparan, dan berdaya saing. Paradigma ini bukan hanya cerminan efisiensi fiskal, tetapi juga wujud dari tata kelola pemerintahan modern yang responsif terhadap tantangan masa depan.
*) Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia