
Oleh: Tri Moerdani) *
DPR RI akhirnya resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang. Pengesahan KUHAP yang baru menandai langkah penting dalam pembaruan sistem peradilan pidana Indonesia. Proses panjang ini dilakukan dengan mempertimbangkan dinamika sosial, kebutuhan hukum modern, dan tuntutan transparansi.
Pembahasannya tidak dilakukan secara tergesa-gesa, tetapi melalui rangkaian diskusi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Mulai dari akademisi, praktisi hukum, hingga organisasi masyarakat sipil juga turut memberikan masukan konstruktif.
Ketua DPR RI Puan Maharani, mengatakan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memenuhi unsur meaningful participation atau partisipasi bermakna.
Untuk diketahui, meaningful participation dalam pembentukan undang-undang adalah prinsip yang menekankan keterlibatan publik secara nyata, substantif, dan berpengaruh dalam proses legislasi, bukan sekadar formalitas. Prinsip ini menuntut agar masyarakat tidak hanya diberi kesempatan hadir tetapi juga didengar, dipertimbangkan, dan ditanggapi oleh pembentuk undang-undang.
Puan menjelaskan proses legislasi RKUHAP sampai disahkan menjadi Undang-Undang, telah berlangsung kurang lebih dua tahun dan melibatkan partisipasi publik yang luas. Ia mengungkapkan setidaknya ada sebanyak 130 masukan selama proses tersebut.
Bahkan, lanjut Puan, Komisi III DPR RI telah melakukan serangkaian kegiatan untuk serap aspirasi ke berbagai daerah di Indonesia seperti Jogja, Sumatera, dan Sulawesi, sehingga telah diperoleh banyak sekali masukan sejak tahun 2023. Ketua DPP PDIP itu juga mengatakan banyak elemen masyarakat terlibat dalam penyusunan substansi baru dari RKUHAP.
Puan menerangkan, panjangnya proses pembahasan diperlukan agar aturan baru dapat menjawab berbagai persoalan yang muncul selama lebih dari empat dekade berlakunya undang-undang lama.
Sejalan dengan itu, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan, pihaknya telah menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan 130 elemen masyarakat selama pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). DPR telah semaksimal mungkin untuk memenuhi unsur meaningful participation atau partisipasi yang bermakna sebelum KUHAP disahkan.
Habiburokhman menjelaskan, sejak Februari 2025, Komisi III DPR RI telah mengunggah naskah tentang KUHAP di laman dpr.go.id dan melakukan pembahasan DIM secara terbuka. Kemudian telah dilakukan RDPU setidaknya 130 pihak dari berbagai elemen masyarakat, akademisi, advokat, serta elemen penegak hukum.
KUHAP yang lama, kata Habiburokhman, memerlukan pembaruan untuk memperkuat posisi warga negara dalam hukum. Sementara KUHAP baru yang telah disahkan DPR telah mengakomodasi kebutuhan kelompok rentan; memperjelas syarat penahanan; perlindungan dari penyiksaan; penguatan dan perlindungan hak korban; kompensasi; restitusi, rehabilitasi; hingga keadilan restoratif.
Habiburokhman juga menekankan bahwa di dalam KUHAP lama negara dan aparat penegak hukum memiliki posisi yang terlalu powerful. Kalau di KUHAP yang baru warga negara diperkuat, diberdayakan haknya, diperkuat melalui juga penguatan profesi advokat sebagai orang yang mendampingi warga negara. Di sisi lain, KUHAP yang baru disahkan menjadi undang-undang tersebut dibutuhkan seiring bakal berlakunya Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 2 Januari 2026.
Dari pihak pemerintah, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas, juga mengklaim pembahasan RUU KUHAP melibatkan partisipasi publik. Menurut dia, belum pernah ada undang-undang yang dilakukan meaningful participation seperti halnya dengan KUHAP. Dari pemerintah, seluruh perguruan tinggi yang memiliki fakultas hukum di seluruh Indonesia, bahkan turut terlibat untuk bisa memberi masukan.
Keterlibatan publik dalam proses legislasi ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menghadirkan aturan hukum yang responsif dan akuntabel. Dengan landasan partisipasi bermakna, aturan ini memiliki legitimasi kuat sebagai produk hukum yang lahir dari kebutuhan dan aspirasi publik.
KUHAP baru diharapkan mampu menjawab tantangan hukum masa kini sekaligus memperkuat perlindungan hak-hak warga negara sehingga memperkuat legitimasi KUHAP sebagai instrumen hukum yang lebih adaptif terhadap perubahan zaman.
Selama ini, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah menjadi tonggak kemandirian hukum bangsa Indonesia, menggantikan HIR (Herziene Indlandsch Reglement) warisan kolonial, serta menegaskan prinsip bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Namun setelah lebih dari empat dekade, perubahan ketatanegaraan, kemajuan teknologi informasi, dan dinamika sosial masyarakat telah membawa tantangan baru. Oleh karena itu, pembaharuan KUHAP diperlukan agar hukum acara pidana menjadi lebih adaptif, modern, dan berkeadilan.
Dengan demikian, masyarakat diharapkan melihat pembaruan KUHAP ini sebagai langkah maju bagi sistem hukum nasional yang lebih manusiawi dan modern. Dengan memahami substansi perubahan, publik dapat ikut memastikan KUHAP diterapkan secara konsisten sesuai prinsip keadilan.
Penerimaan dan dukungan publik menjadi kunci keberhasilan implementasi undang-undang ini di lapangan. Dengan kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan aparat penegak hukum, KUHAP baru dapat benar-benar menjadi landasan yang memperkuat kepastian hukum dan kepercayaan publik.
)* Pengamat Hukum