
Oleh : Devi Ariani )*
Kebijakan pajak ekspor emas yang kembali mencuat dalam diskursus ekonomi nasional mencerminkan upaya serius pemerintah untuk memperkuat hilirisasi dan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Selama ini, sebagian besar komoditas tambang Indonesia diekspor dalam bentuk mentah atau setengah jadi, sehingga potensi keuntungan besar justru dinikmati oleh industri pengolahan di luar negeri. Dengan pengenaan pajak ekspor emas, pemerintah ingin mendorong pelaku usaha mempertimbangkan kembali strategi produksi mereka agar lebih berorientasi pada pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Langkah ini tidak hanya bertujuan menambah penerimaan fiskal, tetapi juga memperkuat fondasi industri nasional agar lebih kompetitif di pasar global.
Direktur Jenderal Strategi Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu menegaskan bahwa Pemerintah akan memberlakukan pajak ekspor emas dengan tarif antara 7,5% hingga 15% mulai tahun depan, sebagai bagian dari kebijakan baru yang saat ini tengah difinalisasi. Kebijakan tersebut bertujuan mendorong hilirisasi dan meningkatkan nilai tambah komoditas emas di dalam negeri. Pihaknya mengatakan tarif pajak akan disesuaikan berdasarkan tingkat pemrosesan emas. Produk yang masih mengandung banyak kotoran seperti gold dore akan dikenakan tarif lebih tinggi, sedangkan emas batangan siap jual akan dikenakan tarif lebih rendah.
Pajak ekspor emas bukan bentuk pembatasan yang bersifat mengekang, melainkan instrumen fiskal yang diatur untuk menciptakan ekosistem industri yang lebih sehat dan terarah. Komoditas seperti emas memiliki nilai tinggi serta rantai pasok yang kompleks, sehingga pengaturannya diperlukan untuk memastikan manfaat ekonomi yang optimal bagi negara. Dengan adanya pajak ekspor, produsen emas akan terdorong melakukan pemrosesan lebih lanjut di dalam negeri, baik berupa pemurnian, pembuatan perhiasan, maupun produk turunan lain yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi titik awal transformasi industri emas nasional menuju fase yang lebih maju.
Di sisi lain, perubahan regulasi ini juga dimaksudkan untuk memperkuat pendapatan negara di tengah dinamika ekonomi global yang tidak menentu. Pajak ekspor merupakan salah satu instrumen fiskal yang dapat membantu menjaga stabilitas APBN, terutama ketika harga komoditas di pasar dunia sedang meningkat. Dengan mengoptimalkan potensi pendapatan dari sektor tambang, pemerintah dapat mengalokasikan anggaran untuk program pembangunan strategis, seperti diversifikasi ekonomi, pembangunan daerah penghasil tambang, dan investasi pada energi terbarukan. Dengan demikian, kebijakan ini memberikan fungsi ganda yaitu mendorong restrukturisasi industri sekaligus memperkuat ketahanan fiskal negara.
Kebijakan bea keluar emas yang akan mulai diterapkan pada 2026 merupakan langkah penting untuk menata ulang struktur industri emas nasional. Selama ini sektor emas tumbuh pesat namun tidak terikat pada kepentingan domestik. Rizal menjelaskan bahwa bea keluar menjadi instrumen untuk mengembalikan posisi tawar negara dalam rantai nilai emas. Selain itu, kebijakan ini juga dipandang sebagai upaya untuk mengurangi praktik ekspor ilegal yang selama ini merugikan negara. Dengan pengetatan aturan dan pengenaan pajak ekspor yang lebih terstruktur, pemerintah dapat memperkuat mekanisme pengawasan terhadap rantai distribusi emas mulai dari penambangan, pemurnian, hingga pengiriman ke luar negeri. Penguatan regulasi ini dinilai penting untuk menutup celah yang sering dimanfaatkan oleh oknum tertentu dalam memanipulasi data produksi dan ekspor. Dengan sistem yang lebih transparan dan terkontrol, integritas sektor pertambangan dapat semakin diperbaiki.
Rencana pemerintah mengenakan bea keluar terhadap ekspor emas dore, granules, cast bars dan minted bars merupakan upaya pemerintah untuk mendorong upaya penghiliran SDA. Pada saat yang sama, hilirisasi industri emas berpotensi menciptakan lapangan kerja baru di sektor manufaktur berbasis mineral. Ketika industri pengolahan dan pemurnian tumbuh, permintaan tenaga kerja terampil dalam bidang metalurgi, desain perhiasan, dan teknologi pemrosesan mineral akan meningkat. Industri pendukung seperti logistik, keamanan, dan jasa keuangan juga akan memperoleh dampak positif dari berkembangnya rantai pasok emas nasional. Dengan kata lain, kebijakan pajak ekspor ini bukan hanya tentang penambahan penerimaan negara, tetapi juga investasi jangka panjang dalam pembangunan manusia dan peningkatan nilai ekonomi domestik.
Di tengah persaingan ekonomi global yang semakin tajam, Indonesia perlu menyiapkan strategi komprehensif agar tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah. Negara-negara maju telah lama memanfaatkan kebijakan fiskal untuk mendorong inovasi dan industrialisasi dalam negeri. Oleh karena itu, pengenaan pajak ekspor emas harus dipandang sebagai langkah strategis untuk menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara yang berhasil mengoptimalkan kekayaan mineralnya. Pemerintah perlu memastikan kebijakan ini berjalan dengan pengawasan yang baik dan didukung kesiapan infrastruktur industri hilir agar manfaatnya dapat dirasakan secara nyata.
Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan pajak ekspor emas bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat. Pemerintah harus konsisten memperbaiki tata kelola pertambangan, meningkatkan transparansi rantai pasok, dan memastikan bahwa kebijakan fiskal benar-benar diarahkan untuk kepentingan nasional jangka panjang. Pelaku industri diharapkan mampu beradaptasi dengan perubahan regulasi dan melihat hilirisasi sebagai peluang, bukan ancaman. Dengan sinergi yang baik, Indonesia dapat memanfaatkan kekayaan mineralnya secara optimal dan menjadikan sektor emas sebagai pilar penting dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan.
)* Kontributor Media dan Pengamat Kebijakan Ekonomi Nasional