
Oleh : Dirandra Falguni )*
Kebijakan tarif resiprokal sebesar 32 persen yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap barang-barang impor dari lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia, kembali mengguncang stabilitas perdagangan global. Di tengah tekanan tersebut, Pemerintah Indonesia memilih untuk tidak gegabah. Pemerintah justru mengambil pendekatan negosiasi sebagai langkah strategis yang dinilai lebih konstruktif dan menjanjikan dalam jangka panjang.
Dalam sarasehan ekonomi yang digelar di Menara Mandiri Jakarta, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan bahwa Indonesia memilih jalur negosiasi karena Amerika Serikat tetap merupakan mitra strategis. Presiden Prabowo Subianto juga mendukung penuh langkah ini, sambi menegaskan pentingnya membangun kekuatan ekonomi nasional yang tangguh dan tidak terlalu bergantung pada negara lain.
Airlangga juga menekankan bahwa pendekatan diplomatik telah dimulai melalui komunikasi intensif dengan perwakilan diplomatik AS dan asosiasi pengusaha nasional seperti KADIN dan Apindo. Pemerintah juga tengah menyiapkan proposal konkret kepada U.S Trade Representative, dengan fokus pada revitalisasi Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) yang sudah lama menjadi landasan kerja sama bilateral sejak 1996.
Langkah ini dinilai tepat, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo agar Indonesia menjadi negara yang efisien, ramping, dan tidak manja terhadap guncangan eksternal. Terdapat kemungkinan menurutnya bahwa Presiden Trump membantu Indonesia agar menjadi negara maju.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menambahkan ketergantungan ekspor Indonesia terhadap AS tidak sebesar negara lain. Meskipun Amerika adalah mitra dagang kedua terbesar Indonesia, masih banyak alternatif pasar ekspor yang potensial. Hal ini menjadi landasan logis bagi Indonesia untuk mendiversifikasi tujuan ekspor, termasuk menjajaki peluang di kawasan ASEAN dan BRICS.
Indonesia tidak bergerak sendiri. Airlangga menyampaikan bahwa negara-negara ASEAN akan menggelar pertemuan regional pada 10 April untuk mengkalibrasi sikap bersama. Inisiatif ini menunjukkan bahwa ASEAN sebagai komunitas ekonomi dapat menjadi blok regional yang tangguh menghadapi tekanan global.
Tak hanya itu, keanggotaan Indonesia dalam New Development Bank (NDB) yang didirikan oleh negara-negara BRICS menjadi bukti bahwa Indonesia memiliki poros alternatif untuk menjalin kerja sama ekonomi internasional. Kunjungan Wakil Perdana Menteri Rusia ke Jakarta pada 14 April juga membuka peluang kerja sama ekonomi baru yang menjanjikan.
Menanggapi kebijakan tarif tinggi dari AS, pemerintah tidak hanya mengandalkan diplomasi, tetapi juga menyusun strategi ekonomi yang terkoordinasi. Pemerintah tengah menyiapkan proposal deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs), termasuk pelonggaran kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor teknologi informasi dan komunikasi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Pemerintah juga mempertimbangkan peningkatan impor dari AS dalam sektor-sektor strategis seperti minyak dan gas (migas), sebagai bagian dari strategi negosiasi. Selain itu, stimulus fiskal dan non-fiskal, termasuk penurunan tarif bea masuk, PPN dan PPh impor, akan diberikan untuk menjaga keseimbangan perdagangan bilateral serta mendukung penguatan ekspor Indonesia.
Menurut data Kementerian Perdagangan, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan dengan AS sebesar US$14,34 miliar pada 2024, dengan kontribusi utama berasal dari sektor mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian, serta alas kaki. Sebaliknya, AS mengalami defisit perdagangan sebesar US$17,9 miliar. Fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki daya tawar yang cukup kuat dalam proses negosiasi.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), juga ikit menyuarakan dukungannya terhadap pendekatan yang diambil pemerintah. Ia menyebut strategi negosiasi dan diplomasi yang dilakukan saat ini sebagai bagian dari dual track strategy, yaitu menggabungkan upaya komunikasi bilateral dengan penguatan regional melalui ASEAN.
SBY menilai strategi ini sangat relevan di tengah dinamika global yang kompleks. SBY juga mengingatkan pentingnya intervensi otoritas moneter dan fiskal dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan pasar saham agar tidak terjebak dalam gejolak pasar bebas. Kalau diserahkan kepada mekanisme pasar semata, bisa jadi nilai saham dan rupiah kita diganjar secara berlebihan.
Selain itu, SBY menekankan pentingnya memperkuat fundamental ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, serta menjaga kesehatan fiskal termasuk pengendalian utang. Menurutnya, krisis global seperti ini bisa menjadi peluang untuk memperkuat daya saing produk dalam negeri.
Kebijakan tarif Trump memang telah memicu reaksi beragam dari negara-negara mitra dagang AS. Pengamat ekonomi Anthony Budiawan dari PEPS, mayoritas negara memilih jalur diplomasi ketimbang retaliasi. Bahkan blok besar seperti Uni Eropa pun menunjukkan sinyal melunak dan membuka ruang negosiasi.
Fakta ini menunjukkan bahwa pendekatan yang dipilih Indonesia bukanlah kelemahan, melainkan sebuah strategi cerdas yang mengedepankan kestabilan dan kepentingan jangka panjang. Dalam ekonomi global yang saling terhubung, pendekatan agresif bisa menimbulkan efek domino yang tidak diinginkan.
Di tengah ketidakpastian global dan ancaman tarif tinggi dari AS, Indonesia menempuh jalan moderat namun strategis melalui diplomasi ekonomi yang terkoordinasi dan komprehensif. Dengan kombinasi antara penguatan ekonomi domestik, diversifikasi ekspor, aliansi regional, serta strategi fiskal yang terukur, Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga mengambil posisi proaktif dalam merespons tantangan global.
Pendekatan negosiasi bukan berarti tunduk, melainkan bentuk kecerdasan diplomatik untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional sambil memperkuat fondasi ekonomi yang mandiri dan berdaya saing tinggi. Dalam lanskap perdagangan global yang terus berubah, langkah ini menjadi simbol kebijakan luar negeri dan ekonomi yang matang serta berorientasi pada masa depan.
)* Kontributor Beritakapuas.com