
Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi menyetujui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dalam Rapat Paripurna ke-8 masa sidang II 2025-2026 yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada 18 November 2025. Keputusan kolektif tersebut dinilai sebagai langkah signifikan dalam memperkuat sistem peradilan pidana Indonesia, terutama dalam memastikan perlindungan hak tersangka maupun korban selama proses hukum berlangsung.
“RKUHAP harus memastikan setiap individu yang terlibat baik sebagai tersangka, maupun korban tetap mendapatkan perlakuan yang adil dan setara,” kata Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman.
Keputusan DPR RI menyetujui RKUHAP diambil dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani setelah mendengar laporan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman. Hadir juga Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, Saan Mustafa, dan Cucun Ahmad Syamsurijal.
“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU KUHAP apakah dapat disetujui menjadi UU?” tanya Puan.
Semua peserta rapat paripurna pun kompak menyatakan “Setuju” terhadap pengesahan RUU KUHAP tersebut.
Puan menegaskan bahwa laporan hasil pembahasan KUHAP yang disampaikan oleh Habiburokhman sudah cukup jelas. Ia pun berharap publik yang masih menolak proses legislasi tersebut tidak termakan hoaks terkait substansi KUHAP baru yang disahkan.
“Penjelasan dari Ketua Komisi III saya kira cukup bisa dipahami dan dimengerti sekali. Jadi hoaks-hoaks yang beredar itu, semua hoaks itu tidak betul, dan semoga kesalahpahaman dan ketidakmengertian kita sama-sama bisa pahami,” kata Puan.
Selama pembahasan, Panitia Kerja RUU KUHAP menyepakati 14 substansi utama yang menjadi kerangka pembaruan hukum acara pidana. 14 poin substansi revisi KUHAP yang disepakati DPR yakni Penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional; Penyesuaian nilai hukum acara pidana sesuai KUHP baru yang menekankan pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif; Penegasan prinsip diferensiasi fungsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin masyarakat; Perbaikan kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga; Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk perlindungan dari ancaman dan kekerasan; Penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana; Pengaturan mekanisme keadilan restoratif; Perlindungan khusus kelompok rentan seperti disabilitas, perempuan, anak, dan lansia; Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam seluruh tahap pemeriksaan; Perbaikan pengaturan upaya paksa dengan memperkuat asas due process of law; Pengenalan mekanisme hukum baru seperti pengakuan bersalah dan penundaan penuntutan korporasi; Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi; Pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban atau pihak yang dirugikan; dan Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.
Persetujuan KUHAP oleh DPR menjadi tonggak penting menuju reformasi peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan melindungi seluruh pihak tanpa kecuali. Pemerintah selanjutnya akan mengesahkan aturan tersebut agar dapat segera diimplementasikan dalam sistem hukum nasional.