
Oleh: Nurul Fikri Hasbullah *)
Gelombang demonstrasi yang sempat diwarnai kericuhan di berbagai daerah menjadi perhatian serius pemerintah. Presiden Prabowo Subianto langsung merespons dengan mengajak para pemuka agama ke Istana Negara untuk berdialog dan mencari solusi bersama. Dari forum itu, suara ulama mengemuka sebagai pengingat bahwa menjaga ketenangan, persatuan, dan kewaspadaan terhadap hoaks merupakan kunci agar bangsa tidak terjerumus pada aksi anarkis yang merugikan semua pihak.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf, menegaskan bahwa ulama siap mendampingi pemerintah dalam membina umat. Ia menyampaikan bahwa masyarakat tidak perlu resah berlebihan karena aspirasi yang disuarakan lewat demonstrasi telah didengar dan bahkan ditindaklanjuti. Salah satu contohnya adalah pembatalan tunjangan rumah anggota DPR RI. Menurutnya, langkah ini membuktikan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh merespons suara rakyat. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melanjutkan aksi anarkis yang hanya akan menimbulkan kerugian. Gus Yahya juga mengingatkan pentingnya peran ulama dalam mengarahkan umat agar tetap tenang, semakin mendekat kepada Tuhan, dan tidak larut dalam provokasi.
Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar menambahkan bahwa perbedaan pendapat adalah hal wajar dalam kehidupan demokratis, namun penyampaiannya harus ditempuh dengan cara damai dan bermartabat. Ia menegaskan, warga NU di semua tingkatan sebaiknya menjadi peneduh di tengah masyarakat. Seruan ini menegaskan kembali identitas NU sebagai pengayom yang memelihara persaudaraan, keamanan, dan ketertiban sosial. Bagi Miftachul Akhyar, demonstrasi yang berujung anarkis justru menodai cita-cita memperjuangkan aspirasi, karena korban yang lahir dari kerusuhan tidak pernah membawa kebaikan bagi bangsa.
Sikap serupa datang dari Muhammadiyah. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyerukan agar seluruh elemen bangsa menahan diri. Ia meminta masyarakat tidak terjebak dalam provokasi yang kerap bersumber dari isu-isu destruktif di media sosial. Haedar menekankan bahwa kepentingan bangsa harus didahulukan di atas kepentingan kelompok. Dengan bijak memilah informasi, masyarakat bisa menghindarkan diri dari jebakan hoaks yang berpotensi menyalakan api konflik. Ia juga menekankan pentingnya dialog dan musyawarah sebagai jalan utama menyelesaikan masalah bangsa, bukan tindakan kekerasan yang memecah belah persatuan.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pembina PP Muslimat NU sekaligus Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, mengajak masyarakat menjadikan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai momentum meneguhkan semangat persaudaraan. Ia mengingatkan bahwa Nabi Muhammad berhasil menyatukan masyarakat Arab yang terpecah akibat konflik kesukuan. Nilai ini menurutnya patut diteladani di Indonesia yang kaya akan keberagaman. Dengan menahan diri dari perkataan yang menyakitkan dan menjauhi tindakan yang merugikan orang lain, masyarakat dapat membangun kehidupan yang damai dan rukun.
Seruan para ulama tersebut bukan sekadar wacana, tetapi merupakan langkah nyata untuk menguatkan agenda pemerintah dalam menjaga persatuan. Di tengah derasnya arus disinformasi, kehadiran ulama menjadi penyeimbang. Mereka memiliki otoritas moral dan kedekatan dengan umat, sehingga pesannya lebih mudah diterima oleh masyarakat luas. Ketika ulama mengingatkan umat agar tidak menyebarkan berita bohong dan tetap mengedepankan sikap damai, maka peluang untuk meredam potensi kerusuhan semakin besar.
Ulama juga menegaskan perlunya masyarakat waspada terhadap penyebaran hoaks di media sosial. Berita bohong kerap muncul dengan narasi provokatif yang sengaja dirancang untuk menimbulkan kebencian. Jika masyarakat terjebak dalam informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka emosi massa dapat tersulut dan berkembang menjadi aksi anarkis. Kehadiran ulama di ruang publik menjadi filter penting agar umat tidak mudah terhasut. Dengan bahasa agama yang menyejukkan, ulama mengajak masyarakat untuk mengutamakan persaudaraan dan menjauhi fitnah.
Dalam konteks lebih luas, peran ulama sebagai penjaga moral bangsa tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab kebangsaan. Seruan para ulama untuk menahan diri, menjaga persatuan, serta menjauhi provokasi merupakan bentuk kontribusi nyata terhadap agenda pemerintah dalam menciptakan stabilitas nasional. Ulama memahami bahwa tanpa stabilitas, berbagai program pembangunan akan sulit diwujudkan. Karena itu, mereka berdiri di garda terdepan, memastikan umat tidak mudah terjebak dalam jebakan hoaks yang berpotensi menggoyahkan keutuhan bangsa.
Seruan kewaspadaan terhadap hoaks yang disampaikan para ulama sekaligus menjadi pengingat bahwa damai adalah jalan utama menuju kemajuan. Indonesia yang plural hanya bisa bertahan jika masyarakatnya memilih jalan persaudaraan, bukan perpecahan. Ulama dengan wibawa moralnya telah mengingatkan umat untuk menjaga ketenangan, mendukung pemerintah, dan menghindari segala bentuk provokasi. Dalam situasi apapun, pilihan untuk tetap damai dan rasional adalah warisan nilai yang harus dijaga bersama.
Dengan demikian, pesan yang muncul dari ulama tidak hanya relevan untuk kondisi saat ini, tetapi juga menjadi pedoman jangka panjang. Hoaks akan terus hadir selama ruang digital terbuka lebar, namun dengan bimbingan ulama dan kesigapan pemerintah, bangsa ini dapat melewati berbagai ujian. Seruan ulama untuk waspada terhadap hoaks pada akhirnya menegaskan bahwa menjaga persatuan bangsa adalah bagian dari ibadah, dan menolak anarkisme adalah wujud nyata cinta tanah air.
*) Pegiat Literasi Kebangsaan – Santri Ponpes Darunnajah